Perkawinan amat penting bagi kehidupan manusia, baik perseorangan ataupun kelompok dengan jalinan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan di antara makhluk tuhan lainya. Allah SWT telah menetapkan cara-cara tersendiri dalam menjalani hidup dengan berpasang-pasangan. cara-cara tersebut diatur dalam lembaga perkawinan, Hal ini sesuai dengan keberadaan islam sebagai Agama fitrah yang datang bukan untuk membunuh kecenderungan-kecenderungan manusia, melainkan untuk membimbing dan mengarahkan sesuai kehendak sang pencipta.
Menurut hukum islam, perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab kabul. Ijab di ucapkan pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha dilakukan oleh walinya atau wakilnya, sedang kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki
Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah agar mempunyai kedudukan yang kuat menurut hukum, Ia sebagai pegawai negri yang di angkat oleh Menteri Agama pada tiap-tiap kantor Urusan Agama Kecamatan. tugas pokok pembantu PPN di atur dalam peraturan Menteri Agama nomor.2 tahun 1989 yaitu membantu pegawai pencatat nikah dalam melaksanakan pelayanan nikah dan rujuk serta melaksanakan pembinaan kehidupan beragama Islam
perkawinan tidak terlepas dari hukum perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat sah dan rukun sebuah perkawinan salah satunya adalah Wali nikah pengertian dan dasar hukum adanya wali nikah terdapat dalam pasal 1(b)tentang devinisi wali adalah”wali nikah yang
di tunjuk oleh Menteri Agama atau Pejabat yang di tunjuk olehnya yang di beri hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah, selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam yang membahas tentang wali nikah terdapat pada pasal 19-23 dan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang mengatur Wali nikah pada pasal 6(1-6). Pernikahan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri. Sebab, perwalian merupakan syarat yag harus
terpenuhi demi keabsahan akad nikah. Dan yang mengakadkan haruslah
seorang Wali yang berhak. Dasarnya Firman Allah:
di tunjuk oleh Menteri Agama atau Pejabat yang di tunjuk olehnya yang di beri hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah, selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam yang membahas tentang wali nikah terdapat pada pasal 19-23 dan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang mengatur Wali nikah pada pasal 6(1-6). Pernikahan tidak dapat berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri. Sebab, perwalian merupakan syarat yag harus
terpenuhi demi keabsahan akad nikah. Dan yang mengakadkan haruslah
seorang Wali yang berhak. Dasarnya Firman Allah:
“dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Wali dalam kaitannya perkawinan dibedakan menjadi tiga (3):
a. Wali Nasab, ialah laki-laki yang beragama islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah.
b. Wali Hakim, ialah pejabat yang di tunjuk oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan yang punya wali.
c. Wali Muhakam, ialah seorang yang beragama islam di angkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah
a. Wali Nasab, ialah laki-laki yang beragama islam yang berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah.
b. Wali Hakim, ialah pejabat yang di tunjuk oleh Mentri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai perempuan yang punya wali.
c. Wali Muhakam, ialah seorang yang beragama islam di angkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah
19 TAHUN USIA MINIMAL BAGI WALI NIKAH?
(Tinjauan Kritis Atas Pasal 18 Ayat (2) Poin c PMA
Nmor 11 Tahun 2007)
Syarat Wali Nikah dalam PMA Nomor 11 Tahun 2007
Dalam PMA
Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, syarat bagi wali (nasab) nikah diterangkan
dalam pasal 18 ayat (2) sebagai berikut:
(2) Syarat
wali nasab adalah:
1. laki-laki;
2. beragama
Islam;
3. baligh,
berumur sekurang-kurangnya 19 tahun;
4. berakal;
5. merdeka; dan
6. dapat
berlaku adil.
Pasal ini
mengandung makna hukum bahwa seorang wali nasab yang telah memenuhi syarat
seperti di atas tetapi belum berusia 19 tahun, maka ia tidak dapat menjadi wali
bagi pernikahan. Hak walinya gugur dan berpindah kepada wali nasab lain yang
lebih jauh.
Implikasinya,
jika si wali nasab yang belum berusia 19 tahun itu tetap menikahkan (menjadi
wali dalam suatu pernikahan), maka tentunya akad nikahnya menjadi tidak sah,
karena tidak memenuhi syarat. Seperti shalat yang dilakukan tanpa berwudlu
terlebih dahulu.
Dalam pasal
tersebut, syarat-syarat selain baligh adalah biasa: sejalan dengan keyakinan
hukum yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Yang berbeda dan
terlihat kontroversi adalah keterangan tambahan mengenai syarat baligh, yakni,
kata "berumur sekurang-kurangnya 19 tahun". Kata-kata tambahan itu
terlihat begitu berani untuk berbeda dengan pemahaman kebanyakan masyarakat,
yang meyakini bahwa usia baligh bagi laki-laki adalah 15 tahun.
Sebelum
terbitnya PMA Nomor 11 tahun 2007, ketentuan usia 19 tahun hanya diberlakukan
bagi calon pengantin laki-laki dan saksi. Dengan kata-kata tambahan tersebut
terlihat adanya upaya untuk memberikan kepastian hukum mengenai usia baligh.
Agaknya pemerintah ingin konsisten menerapkan usia ideal 19 tahun bagi semua
pihak yang melakukan akad nikah (kecuali calon pengantin wanita).
Dengan hal
itu pula Pemerintah telah melakukan distorsi: pengalihan makna dari baligh ke
dewasa. Distorsi yang mungkin disengaja untuk tujuan maslahat. Bisa
jadi, Pemerintah berkeinginan agar wali nasab jangan sampai dilakukan oleh
anak-anak, yang menurut perundang-undangan yang berlaku tidak sah melakukan
suatu tindakan hukum.
Namun,
dengan kebijakan itu, ditakutkan bukannya maslahat yang didapat, tetapi
dosa karena telah melakukan tahrif (mengubah hukum syariat) dan
menyulitkan ummat.
Ditambah lagi,
pendefinisian anak-anak dan dewasa dalam perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia tidak sama. Perundang-undangan yang satu berbeda dengan yang lainnya.
UU RI Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada pasal 1, menyebutkan bahwa,
"Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan." Sementara UU Anti Pornografi
dan Pornoaksi memberikan batasan, "Anak-anak adalah seseorang yang belum
berusia 12 (dua belas) tahun; sdangkan Dewasa adalah seseorang yang
telah berusia 12 (dua betas) tahun keatas."
Dalam dunia
hukum (positif), dewasa juga dikenal dengan istilah legal age, yaitu
usia yang menurut hukum memenuhi syarat untuk diberi hak dan kewajiban hukum
tertentu. Legal age yang berlaku di Indonesia juga berbeda-beda. Legal
age untuk menikah di Indonesia adalah 15 tahun untuk wanita dan 18
tahun untuk pria (KUHPdt.),
legal age untuk menikah bagi orang Islam adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), dan legal age untuk dimintai tanggung jawab pidana adalah 8 tahun (UU No. 3/1997 ttg Pengadilan Anak)
legal age untuk menikah bagi orang Islam adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), dan legal age untuk dimintai tanggung jawab pidana adalah 8 tahun (UU No. 3/1997 ttg Pengadilan Anak)
Term Fiqh tentang Usia Kecakapan
Bertindak
Dalam nash
(Alquran dan Hadits) maupun dalam kitab-kitab fiqh ditemukan beberapa istilah
mengenai fase usia (kedewasaan) manusia. Istilah-istilah tersebut sebagai
berikut:
- Mumayyiz (tamyiz); yaitu fase kesadaran intelektual. Pada fase ini manusia mulai paham akan lingkungan. Ia mulai dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk; apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tidak boleh; juga memahami akan hak dan kewajiban. Menurut Atjep Djazuli, mumayyiz dimulai pada usia 7 tahun.
Alquran menyebut fase ini dengan balaga
al-hulum, seperti dalam surat Al-Nur ayat 59:
وَإِذَا
بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ (59)
Pada usia hulum tersebut,
anak-anak yang akan masuk ke kamar ibunya harus meminta izin terlebih dahulu
untuk masuk.
Si ibu tidak boleh sembarangan lagi membuka aurat di hadapan si anak.
Si ibu tidak boleh sembarangan lagi membuka aurat di hadapan si anak.
Al-Qurtuby dan Ibn Katsir dalam
tafsirnya masing-masing, menyebutkan Al-Auza`iy pendapat bahwa usia anak al-hulum
adalah 4 tahun.
- Baligh; yaitu fase kematangan biologis. Pada fase ini manusia mengalami kematangan secara fisik. Seluruh kelengkapan tubuh orang dewasa mulai ada. Bulu-bulu halus mungkin mulai tumbuh, seiring perkembangan hormon, suarapun berubah.
Majalah al-Ahkam al-Adliyah (semacam
kitab undang-undang hukum perdata yang diterapkan pada masa pemerintahan Turki
Utsmany) telah menyebutkan kriteria yang jelas mengenai baligh. Seperti
diterangkan dalam Pasal 985, 986, dan 967 di bawah ini:
Pasal 985
Kedewasaan umur (baligh) itu dibuktikan
oleh keluarnya sperma ketika bermimpi, oleh kemampuan untuk bisa menghamili,
oleh adanya menstruasi, dan oleh kemampuannya untuk mengandung.
Pasal 986
Mulainya umur dewasa (baligh) untuk
pria adalah 12 tahun penuh dan untuk wanita 9 tahun penuh. Berakhirnya
masa baligh bagi pria ataupun wanita adalah pada umur 15 tahun penuh.
Jika seorang pria ketika mencapai umur 12 tahun atau wanita ketika mencapai 9
tahun belum mencapai usia baligh, mereka disebut sedang menuju baligh (murahiq
dan murahiqah) sampai tiba saatnya umur baligh.
Pasal 987
Seseorang yang telah mencapai batas
akhir usia baligh, tetapi tidak memperlihatkan tanda-tanda baligh, maka menurut
hukum, dianggap telah mencapai umur baligh.
Fase ini, dalam Alquran disebut
sebagai balaga al-nikah (usia nikah), separti dalam surat Al-Nisa ayat
6:
وَابْتَلُوا
الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا
فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا
أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا
فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (6)
Menurut Ibn Katsir, berdasarkan
beberapa hadits, usia balaga al-nikah adalah 15 tahun.
Hadits-hadits tersebut antara lain:
عَنْ عَائِشَة وَغَيْرهَا مِنْ الصَّحَابَة عَنْ
النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ " رُفِعَ الْقَلَم عَنْ
ثَلَاثة الصَّبِيّ حَتَّى يَحْتَلِم أَوْ يَسْتَكْمِل خَمْس عَشْرَة سَنَة
وَعَنْ النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظ وَعَنْ الْمَجْنُون حَتَّى يُفِيق "
عَنْ اِبْن عُمَر قَالَ : عُرِضْت عَلَى النَّبِيّ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْم أُحُد وَأَنَا اِبْن أَرْبَع عَشْرَة
فَلَمْ يُجِزْنِي وَعُرِضْت عَلَيْهِ يَوْم الْخَنْدَق وَأَنَا اِبْن خَمْس
عَشْرَة سَنَة فَأَجَازَنِي
- Rusyd; yaitu fase kematangan psikologis. Pada fase ini, bukan saja secara fisik-biologis sudah matang, melainkan juga telah matang dari emosi dan pengendalian diri. Ia akan bertindak setelah diperhitungkan dengan matang akibat yang akan ditimbulkannya.
Ada dua istilah yang disebutkan
Akquran bagi fase ini, yaitu balaga asyuddah dan istawa,
sebagaimana dalam surat Al-Qashash ayat 14:
وَلَمَّا
بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِينَ (14)
Pada fase ini para (calon) nabi
telah memiliki kesadaran spiritual dan akhirnya mendapat wahyu.
Menurut Ibn Abbas, usia balaga
asyuddah adalah 20 tahun, sedangkan usia istawa adalah 40
tahun. Berdasarkan hadits dari Atha:
وَقَالَ فِي رِوَايَة عَطَاء عَنْهُ : إِنَّ أَبَا بَكْر
صَحِبَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اِبْن ثَمَانِيَ
عَشْرَة سَنَة وَالنَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِبْن عِشْرِينَ
سَنَة
, وَهُمْ يُرِيدُونَ الشَّام لِلتِّجَارَةِ , فَنَزَلُوا
مَنْزِلًا فِيهِ سِدْرَة , فَقَعَدَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي ظِلّهَا , وَمَضَى أَبُو بَكْر إِلَى رَاهِب هُنَاكَ فَسَأَلَهُ عَنْ الدِّين
. فَقَالَ الرَّاهِب : مَنْ الرَّجُل الَّذِي فِي ظِلّ الشَّجَرَة ؟ فَقَالَ :
ذَاكَ مُحَمَّد بْن عَبْد اللَّه بْن عَبْد الْمُطَّلِب . فَقَالَ : هَذَا وَاَللَّه نَبِيّ , وَمَا اِسْتَظَلَّ أَحَد تَحْتهَا
بَعْد عِيسَى . فَوَقَعَ فِي قَلْب أَبِي بَكْر الْيَقِين وَالتَّصْدِيق
, وَكَانَ لَا يَكَاد يُفَارِق رَسُول اللَّه صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَسْفَاره وَحَضَره . فَلَمَّا نُبِّئَ رَسُول
اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ اِبْن أَرْبَعِينَ سَنَة ,
صَدَّقَ أَبُو بَكْر رَضِيَ اللَّه عَنْهُ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُوَ اِبْن ثَمَانِيَة وَثَلَاثِينَ سَنَة . فَلَمَّا بَلَغَ
أَرْبَعِينَ سَنَة قَالَ : " رَبّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُر نِعْمَتك الَّتِي
أَنْعَمْت عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ " الْآيَة
Dari paparan di atas jelaslah bahwa
secara nash, baligh tidak bisa disamakan dengan dewasa. Karena itu,
jelas pula bahwa pemerintah (termasuk kita) telah melakukan kekeliruan, yang
harus segera ditebus dengan perubahan dan perbaikan.
Beberapa Usulan
Beberapa Usulan
Dalam
menetapkan syarat baligh bagi wali nasab, alangkah bijaknya jika memperhatikan
hal-hal berikut:
- Memang benar bahwa posisi wali dalam (akad) pernikahan begitu penting. Walaupun demikian, tidaklah perlu mengubah makna nash untuk mengejar nilai ideal. Karena nikah adalah ibadah, maka syarat-syarat, rukun, kewajiban, sunnah-sunnahnya, dan kaifiyahnya harus tetap dijaga agar sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya;
- Hukum memang tidak harus tunduk kepada keinginan masyarakat. Tetapi, banyak terjadi, aturan perundang-undangan tidak dapat diterapkan dengan baik karena tidak sejalan dengan keyakinan kebanyakan masyarakat (seperti tentang sahnya thalak harus di depan hakim, dll). Karena, agar hukum berwibawa, perundang-undangan dilaksanakan dengan suka cita oleh masyarakat, pembuatan peraturan perundang-undangan harus pula memperhatikan madzhab masyarakat;
- Dalam poin c ayat (2) pasal 18 dari PMA Nomor 11 tahun 2007 tidak usah ditambahkan kata-kata, "berumur sekurang-kurangnya 19 tahun". Cukup saja disebutkan, "baligh", Usia minimal 19 tahun diganti dengan 15 tahun;
- harus ada pasal khusus yang menerangkan tentang kriteria baligh. Bunyi pasalnya sebagaimana pasal 985, 986, dan 987 Majallah al-Ahkam al-Adliyah;
No comments:
Post a Comment